Blue Fire Pointer

Selasa, 25 Maret 2014

Memahami Tragedi Marsinah

Barangkali tidak ada kasus kematian seorang pekerja rendahan, yang menyedot perhatian luar biasa, kecuali kasus Marsinah. Kasus relatif serupa semenjak Marsinah, seperti Titi Sugiarti pekerja pabrik tekstil di Bandung, Rusli buruh pabrik pengolahan karet di Medan, atau Sikri bin Yakub buruh perkebunan di Palembang, kurang mendapat atensi masyarakat. Malah kematian misterius Petrus Tomae, pekerja asal Timtim di pabrik semen di Bogor, nyaris dilupakan orang.Mungkin kasus Marsinah, selain pertama kali terjadi, memiliki kelebihan khusus. Kasus Marsinah secara kasat mata bukan perkara kriminal biasa. Kasus ini berlatar belakang unjuk rasa di pabrik arloji (PT CPS) tempat bekerja Marsinah, menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja. Sebelum jasad Marsinah ditemukan tergolek mengenaskan di pinggir hutan jati Wilangan di Nganjuk, almarhum tampil gigih memperjuangkan 13 rekan sekerjanya yang di-PHK di kantor Kodim Sidoarjo seusai unjuk rasa.

Kasus itu sebenarnya tidak akan sedramatis kemudian, kalau sejak dini aparat kepolisian sigap menyeret pelakunya. Tapi cerita bergulir menjadi sebuah seri telenovela, ketika motif pembunuhan itu dibumbui isu cinta segitiga, perebutan warisan, dan perkosaan, yang kemudian tidak bisa dibuktikan.

Kisahnya kian dramatis di mata publik, ketika pengusutan kasus itu harus ditangani dari pusat, yang disusul dengan menghilangnya pemilik dan staf manajemen PT CPS dan kemudian diseret ke pengadilan. Proses penyeretan sembilan terdakwa itu tidak kurang mencekamnya. Hingga di situ motif pembunuhan ganti haluan, yakni Marsinah dibunuh karena mengancam membocorkan kegiatan ilegal perusahaan memalsu arloji merek terkenal. Motif ini entah dari mana hulunya, karena seperti dinyatakan polisi ketika PT CPS digrebek aparat Polresta Surabaya Utara tidak terbukti ada pemalsuan produk, malahan perusahaan ini dipercaya mengerjakan order dari beberapa instansi militer.

Episiode kedua
Layar tragedi Marsinah memasuki episode berikutnya. Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu memutus bebas murni atas sembilan terdakwa kasus Marsinah. Putusan itu menguak pertanyaan laten, siapa algojo Marsinah sesungguhnya? Lantas, siapa dan apa kepentingan merekayasa skenario peristiwa itu, sehingga menyeret algojo yang keliru? Barangkali di sekitar pertanyaan inilah sisi menarik sekaligus ruwet dari pengusutan dan pengadilan tragedi Marsinah selanjutnya.

Penyelesaian kasus Marsinah semestinya dimulai dengan memahami konteks ekonomi-politik di sekitar dunia perburuhan. Dalam pengusutan hingga pengadilan yang lalu, kasus Marsinah dipreteli dari konteks tersebut, sehingga kasus ini sulit ditemukan motif pembunuhannya yang pas.

Nampaknya ada sesuatu yang mesti disembunyikan dari sorotan masyarakat, maka kasus Marsinah diciutkan sebagai peristiwa yang lepas dari konteks aksi mogok sebelumnya. Sebagian pihak menerka, penciutan itu didasari oleh rasa kekhawatiran akan terbukanya kekerasan politik kontrol buruh yang dipraktekkan sejauh ini, dan pihak-pihak tertentu yang akan tercoreng konduitenya. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, kalau kita mau menarik pelajaran berharga dari kasus ini, untuk perbaikan di masa depan.

SIS
Suatu pemogokan buruh menuntut kesejahteraan yang lebih baik, dalam jangka panjang akan mengganggu basis material industri nasional.

Ketika terjadi mogok kerja atau unjuk rasa buruh di perusahaan, lazimnya pihak manajemen mengundang aparat keamanan dan Depnaker untuk menertibkannya. Seusai mogok, sejumlah buruh yang dituding sebagai dalang pemogokan, acap diundang ke markas keamanan. Di situ, mereka bila perlu menandatangani formulir pengunduran diri dari tempat kerjanya. Standar pengendalian demikian, diterapkan persis dalam menangani pemogokan di PT CPS, yang disusul dengan kematian Marsinah.

Di mata buruh, koordinasi pengusaha dengan aparat keamanan tidak sekadar memberikan respons represif ketika terjadi mogok kerja. Tapi aparat operatif keamanan juga patroli di perkampungan buruh bekerja sama dengan aparat kelurahan, ketua RT/RW dan pemilik bedeng kontrakan para buruh. Aparat keamanan serta jajaran Muspika atau Muspida lainnya, telah biasa ikut nimbrung dalam perundingan antara wakil buruh dan majikan.

Di setiap wilayah industri seperti memiliki keragaman implementasi politik kontrol buruh. Di Sidoarjo, kontrol terhadap buruh secara integral dikoordinasikan lewat institusi SIS (Sistem Intelijen Sidoarjo). Kehadiran lembaga ini diungkap pejabat Depnaker setempat di depan pengadilan kasus buruh PT Maspion, Oktober 1993. Disebutkan, kalau terjadi kasus perselisihan perburuhan, pihak Depnaker tidak bisa langsung menangani masalah sendirian, tapi harus melibatkan aparat keamanan.

Pengerasan kontrol
Operasi keamanan industrial demikian, jelas memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Sumber biaya itu boleh jadi berasal dari anggaran resmi. Tapi tidak salah bila pengusaha turut memberikan semacam tip jasa keamanan kepada petugas pelaksana. Karena bagaimana pun, di tangan aparat pelaksana inilah fungsi kontrol sesungguhnya berjalan. Karena itu wajar jika di dalam struktur biaya produksi industri, dikenal biaya siluman (invisible cost). Perkiraan peneliti, biaya siluman itu mencapai angka sekitar 30 persen dari ongkos produksi, melebihi alokasi upah buruh yang hanya delapan hingga sebelas persen.

Jadi bisa dimengerti, pemogokan buruh yang tidak terkendali dalam jangka panjang dapat berakibat pada terganggunya koordinasi dan kepentingan ekonomi aparat pengendali buruh. Maka wajar saja, setiap aksi buruh menuntut perbaikan kesejahteraan selalu dihadapi dengan keras.

Dalam empat tahun terkhir ini, pemogokan dan unjuk rasa buruh tak dapat dibendung, dan tidak ada tanda-tanda akan segera menurun. Tahun 1990 angka pemogokan buruh sekitar 61 kasus, sementara dalam tahun 1994 sudah mencapai lebih dari 1.300 kali (The Jakarta Post, 29 Januari 1995). Artinya, realitas politik dan kepentingan aparat kontrol buruh betul-betul tengah menghadapi resistensi rasional dari kalangan pekerja. Dikatakan demikian, sebab aksi-aksi buruh itu jelas bukan suatu fenomena yang terjadi di luar bekerjanya sistem kontrol tadi.

Ada dua alternatif pilihan, bila suatu pendekatan koersi sudah tidak efektif lagi mendisiplinkan buruh. Yaitu, mengganti kerangka itu dengan pendekatan kesejahteraan. Logikanya, kalau kondisi mikro sosio-ekonomi buruh yang menjadi faktor pemicu gelombang pemogokan buruh sejauh ini dicukupi, niscaya pemogokan itu hingga tingkat tertentu bisa direm.

Atau, terus melanjutkan kerangka semula. Tapi itu hanya bisa dilakukan dengan jalan mereproduksi institusi kontrol baru dan menambah dosis kekerasan hingga melebihi batas imun. Konsekuensinya kerangka ini akan berhadapan dengan gerakan universal penghormatan hak asasi manusia, suatu kekuatan yang tidak bisa dibendung pula. Apalagi masalah perburuhan memiliki dimensi internasional yang dapat mempengaruhi ekspor Indonesia.

Kiranya realitas yang terjadi sekarang, nampak pola terakhir inilah yang cenderung diterapkan, di tengah kebingungan aparat kontrol buruh merumuskan alternatif kontrol lain. Dalam konteks perkembangan politik kontrol buruh demikian, kasus Marsinah bisa dimaklumi.

(Teten Masduki, Kepala Divisi Perburuhan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI))

Tulisan ini diambil dari Kompas Jumat, 26-05-1995. Halaman: 5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar