Blue Fire Pointer

Jumat, 20 Juni 2014

Devi Dja, Penari Jawa yang Mendunia


Perempuan Pelita
19 Juni 2014



Salam setara sahabat marsinah, apa kabarnya malam ini? Semoga sudah bisa bersantai setelah pulang kerja, dan berberes rumah. Sambil bersantai kita dengarkan kembali rubrik Perempuan Pelita yang setia menemani kamu semua tiap kamis jam 7 sampai 8 malam, bersama saya lagi, Dias. Sebelum saya berangkat kerja shift malam jam 11 nanti saya akan menemani sahabat marsinah. Semoga tidak bosan mendengar suara saya. Sebelumnya kita nikmati dulu satu tembang manis satu ini persembahan dari kerabat kerja marsinah fm. (Lagu dan iklan)
Pernahkah sahabat marsinah mendengar nama Devi Dja? Mungkin sebagian dari kita, apalagi anak muda nyaris tak pernah mendengar namanya. Tapi jangan salah lho, beliau ini adalah penari jawa yang mendunia dan sangat terkenal di jamannya. Sayang sekali, sangat sedikit informasi tentangnya. Bagaimana tidak, kebiasaan mendokumentasikan sosok dan peristiwa kita sendiri belum menjadi kebiasaan. Terlebih lagi, bila perempuan yang berperan di masa silam, tak banyak yang berkisah tentangnya. Karena minimnya kisah tentang DeviDja, seorang staf pengajar dari Universitas London berniat menulis biografinya bersama kelompoknya di Amerika Serikat dengan judul ‘Pertujukan Bali dan Jawa di Panggung Internasional: Rute dari Hindia 1905-1952’.

Devi Dja, begitulah nama panggung yang kenakan sebagai penari tersohor di tahun 40an. Ia bergabung dengan sebuah kelompok teater yang bernama Dardanella yang dipimpin oleh seorang lelaki berkebangsaan Inggris keturunan Rusia, namanya Pedro atau Willy Klimanod. Kelompok teater ini tak hanya tenar di Indonesia tapi juga dunia. Tak heran bila seringkali manggung di luar negeri, dari Asia hingga Eropa. Dardanella meraih puncak kejayaannya kala diperkuat oleh dua seniman serba bisa yakni Tan Tjeng Bok yang dijuluki “Douglas Fairbanks van Java” sementara Devi Dja sering disebut “Bintang dari Timur” atau Star From the East.

Kisah hidup Devi Dja sempat dibukukan oleh alm Ramadhan KH yang diterbitkan pada tahun 1982 oleh penerbit Sinar Harapan dengan judul “Gelombang Hidupku, Devi Dja dari Dardanella”. Sayang, bukunya sudah sangat sulit dicari.

Devi Dja, atau Bintang dari Timur lahir di sebuah kota bernama Sentul, Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Misria yang kemudian berubah nama menjadi Soetidjah. Darah seni sudah mengalir semenjak ia masih kecil. Kebiasaannya dari kecil adalah menguntit kakek serta neneknya, Pak Satiran dan Bu Sriatun untuk ngamen berkeliling kampung dengan memainkan siter. Meski miskin, Devi Dja tidak peduli, seni membuat hatinya riang gembira. Suatu kala sedang ngamen di Banyuwangi, ia berhasil menarik perhatian Pedro, pimpinan Dardanella. Ketertarikan pada bakat DeviDja juga membuat Pedro jatuh cinta dan melamar Devi Dja yang kala itu maish bernama Soetidjah. “Ternyata Pedro melihat pertunjukan kami. Katanya ia tertarik pada saya ketika saya menyanyikan lagu Kopi Soesoe yang ketika itu memang sedang populer,” kenang Devi Dja tentang suaminya itu.
Cinta masa muda itu membuat Devi Dja harus meninggalkan keluarganya. Berat, tapi Devi Dja memilih cinta Pedro. Bagaimana kisah Devi Dja selanjutnya. Jangan beranjak dari tempatmu, kita akan kembali bercengkrama setelah lagu menawan yang satu ini (lagu dan iklan)
Awalnya, keluarga Devi Dja keberatan. Maklum, Devi Dja masih sangat belia. Namun Devi Dja menerima lamaran Pedro dan bergabung ke Dardanella sebagai salah satu pemainnya. Saat itu, Devi Dja masih buta huruf karena sama sekali tak mengenal bangku sekolah, ia masih berusia 14 tahun. Di Dardanella lah, Devi Dja belajar membaca dan menulis latin dan dari kemampuan baca tulis itu, Devi Dja belajar banyak hal.

Sebagaimana pemain baru, meski sudah berstatus sebagai istri Pedro sang pemimpin teater, Devi Dja lebih sering mendapat peran-peran kecil seperti menjadi penari yang tampil dalam pergantian babak. Ia menjadi bintang yang bersinar ketika mendapat peran utama perempuan Dardanella, menggantikan peran utama perempuan Miss. Riboet yang jatuh sakit dalam lakon “Dokter Syamsi”. Saat itu ia masih berusia 16 tahun.

Sejak itulah, karir DeviDja mulai menanjak bahkan berhasil mengungguli Miss. Riboet dan Fifi Young, dua pemeran utama Dardanella. Bersama Tan Tjeng Bok, DeviDja menjadi bintang tenar Dardanella.
Akhirnya , tibalah waktu DeviDja untuk pentas di luar negeri ketika usianya menginjak 17 tahun. Tercatat, Dardanella manggung di beberapa negara seperti Delhi, Karachi, Bagdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, Roma, Belanda, Swiss dan Jerman. Suatu hari pada bulan Mei 1937 ketika pentas di India, Jawaharlal Nehru turut menonton pertunjukan mereka, bahkan dikabarkan pula Pedro dan DeviDja sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi.
Pada tahun 1980an, saat bermain di luar negeri, Dardanella kemudian berubah nama menjadi “The Royal Bali – Java Dance” “Kami lebih mengutamakan tari-tarian daripada sandiwara, sebab khawatir penonton tidak tahu bahasanya,” ucap DeviDja.
Saat perang dunia pertama mulai meletus, mereka sedang berada di Munich, Jerman. Kekuatiran tentang perang melanda seluruh masyarakat dunia, tak terkecuali kru Dardanella. Di tengah kegelisahan itu, Pedro memutuskan supaya rombongan Dardanella menyebrang ke Amerika Serikat. Dengan kapal “Rotteram”, DeviDja bersama rombongan menuju Amerika. Amerika Serikat menjadi negara tujuan karena dinilai lebih aman apalagi negeri itu tidak terlibat perang dunia pertama. Nama Dardanella yang tersohor membuat mereka mendapat sponsor dari Columbia sesampainya di Amerika Serikat untuk mementaskan karya mereka di hampir selurh kota besar di Amerika Serikat “Kami keliling,tidur di trem saja. Cuma di New Yorkmenetap dua minggu,” tutur Devi Dja. Tur mereka ini menempatkan mereka di headline koran harian Amerika Serikat. Kala mereka mau pulang ke tanah air, langkah mereka terhenti akibat pecahnya perang dunia ke dua dan Indonesia diduduki oleh Jepang. Setelah perang dunia ke dua usai, rombongan pun tersisa hanya belasan orang saja karena sebagian berupaya pulang dan semangat pun akhirnya mulai luntur. Demi bertahan hidup di Amerika Serikat, Pedro dan Devi Dja membuka sebuah niteclub bernama Sarong Room di Chicago. Sayang nite club itu terbakar pada 1946 dan membuat Pedro frustasi dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1952.
Lalu bagaimana hidup DeviDja selanjutnya? Mana kala ia terpaksa hidup seorang diri di negeri orang. DeviDja harus bertahan hidup, terus berkarir sambil menahan rindu pada kampung halaman. Kisahnya akan kita simak, setelah yang satu ini (lagu dan iklan)
Di masa awal kemerdekaan Indonesia Devi Dja sempat bertemu Sutan Syahrir yang sedang mewakili RI untuk memperjuangkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia di markas PBB New York pada tahun 1947. Syahrir sempat memperkenalkan Devi Dja sebagai duta kebudayaan Indonesia. Karenanya, tak sulit buat Devi Dja untuk mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat. Pada tahun 1951, ia pun resmi menjadi warga negara Amerika Serikat.

Setelah Pedro meninggal, DeviDja masih sempat pentas dari panggung ke panggung bersama anggota kelompok yang tersisa. Devi kemudian menikah dengan seniman Indian bernama Acce Blue Eagle. Sayang, pernikahan tersebut terlalu singkat, Acce tidak suka dengan pergaulan Devi Dja dengan orang-orang Indonesia, padahal Devi sangat terikat dengan tanah airnya, berteman dengan satu bangsa membuatnya bisa memenuhi relung rindu itu.
Setelah perceraiannya, Devi pindah ke Los Angeles, untuk mengembangkan karirnya. Ia sempat menari di depan Claudette Colbert yang takjub dengan kepiawaian gerak tangan dan kerlingmata Devi Dja. Kabarnya Devi hampir terpilih untuk mengambil peran dalam salahsatu film produksi Hollywood. Namun, karena hambatan kemampuan bahasa Inggrisnya, ia gagal memperoleh peran tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Devi kemudian menikah lagi dengan seorang lelaki Indonesia asal Gresik yang menetap di Amerika Serikat, bernama Ali Assan. Dari pernikahan ini, Devi dikaruniai seorang anak perempuan bernama Ratna Assan. Sayang, pernikahan ini pun akhirnya berujung pada perceraian. Setelah itu, Devi menyibukkan dirinya dengan berbagai macam kesibukan seperti memberikan les tari daerah kepada penari-penari Amerika Serikat. Kehidupan Devi di Amerika Serikat tidak mudah, kesulitan hidup terus menghimpit mengingat krisis ekonomi pasca perang. Bila bukan karena bantuan para sahabatnya, Devi mungkin akan sulit bertahan hidup. Beruntung teman-temannya seperti Greta Garbo, Carry Cooper, Bob Hope,Dorothy Lamour, dan Bing Crosby, banyak membantunya dengan memberi kesempatan bermain di beberapa film diantaranya The Moon And Sixpence, riwayat hidup pelukisPrancis Paul Gaugin. Dia juga membintangi atau menjadi koreografer film Roadto Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Picture ofDorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952).Di Los Angeles pun, Devi rutin mengisi acara televisi lokal.
Anaknya, Ratna Assan sempatbermain sebagai pemeran pendukung dalam film Papillon (1973) yang dibintangi Steve Mc Quin dan Dustin Hoffman.Tapi Ratna Assan kemudian tidak melanjutkan karir aktingnya di Hollywood.
Devi Dja tidak pernah bisa melupakan tanah airnya, meski tinggal di negeri jauh, Devi Dja tak berhenti mempopulerkan tarian Indonesia. Suatu kali, Devi berkesempatan pulang ke tanah air. Lepas rindu membuatnya haru. Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi tentang sosok Devi Dja kita nikmati dulu satu tembang manis berikut ini khusus untuk kamu semua. (klan dan lagu)
Devi Dja di satu kesempatan pernah memimpin float Indonesia atau Indonesian Holiday yang disponsori Union Oil dalam “Rose Parade” di Pasadena, tahun 1970. Dia menjadi orang pertama Indonesia yang memimpin rombongan Indonesiayang turut serta dalam Rose Parade di Pasadena itu. Kala menerima penghargaan, air mata Devi Dja menetes “Air mataku meneteslagi, kata Dewi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besarkepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa!Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasadekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.” kata Devi

Sumbangsih Devi kepada tanah air pernah ia tunjukkan ketika ia membela pemuda – pemuda Inodnesia di Los Angeles ketika berita tentang Perbudakan di Los Angeles mulai memuncak. Devi membela pemuda Indonesia yang dirantai di depan Pengadilan Los Angeles. Karena keterlibatan Devi dalam mengadvokasi para pemuda Indonesia itu, para pemuda itu bebas.
Masa tua Devi dihabiskan dengan tinggal bersama anak semata wayangnya di kawasan Mission Hill, San Fernando Valley, 22 km utara Los Angeles. Dengan uang pensiun yang diperolehnya dari Union Arts, ia bertahan hidup. Pada tahun 1982, di usianya yang ke 68 tahun, Devi Dja sempat pulang ke Inonesia atas undangan Panitia Festival Film Indonesia. Dalam kesempatan itu, ia menjenguk sahabat lamanya Tan Tjeng Bok yang sedang rawat inap di Rumah Sakit. Tan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1985.

Pada tgl 19 Januari 1989, Devi Dja menghembuskan nafas terakhirnya di Los Angeles dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles. Biografinya sempat ditulis dalam beberapa buku, diangaranya Standing Ovations: DeviDja, Woman of Java karya Leona Mayer Merrin yang terbitpada 1989 dan dalam buku memoar suaminya LumheeHolot-Tee – The Life and Art of AceeBlue Eagle.

Ya sahabat marsinah, tak terasa sudah 1 jam saya menemani kamu semua. Akhirnya saya harus undur diri, kita akan bersua lagi pekan depan di waktu dan acara yang sama. Kerabat marsinah fm mengucapkan salam setara, sampai jumpa di marsinah 106 fm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar