Blue Fire Pointer

Kamis, 11 September 2014

Sophie; "Tak Soal Dengan Kematian, Selama Ia Bisa Membuat Ribuan Orang Bangkit Melawan"

Perempuan Pelita

11 September 2014




Aktivis HAM, almarhum Munir, pernah mengatakan “kita harus lebih takut kepada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita”. Mengatasi rasa takut bukan hal mudah apalagi taruhan dari sebuah pilihan itu adalah nyawa. Almarhum Munir, Marsinah, Widji Tukul adalah beberapa nama yang berhasil atasi rasa takut, menembus relung-relung keberanian. Di suatu negeri, di luar sana, seorang gadis belia juga memiliki keberanian luar biasa yang tak muncul begitu saja, tapi melalui pertarungan melawan rasa takut yang tak kalah luar biasa. Ya sahabat marsinah, saya, lamoy kali ini menemani kamu semua karena Dias sedang sakit, semoga dia lekas sembuh dan kembali ke tengah kita semua. Dalam Rubrik Perempuan Pelita kali ini, kita akan mengudara bersama salah satu gadis muda pemberani ini. Perempuan Pelita hadir buat kamu semua tiap kamis jam 7 sampai 8 malam. Sebelum kita melanjutkan kisah kita kali ini, kita dengarkan dulu yuuk tembang cantik berikut ini (lagu dan iklan)

Nama gadis belia ini adalah Sophie Scholl, yang terkenal karena keberaniannya melawan Nazi dengan membentuk kelompok anti NAZI bernama “Mawar Putih” bersama dengan saudara lelakinya, Hans serta beberapa teman mahasiswanya di Munich. Kelompok ini membagikan leaflet dan membuat grafiti melawan rejim Hitler.

Sophi lahir pada 9 Mei 1921 di Forchtenberg in Bäden-Württemberg. Ayahnya, Robert, adalah seorang walikota. Keluarganya hidup dengan nyaman di sebuah apartemen besar di balai kota. Robert, sang ayah, sudah menjadi seorang penentang selama Perang Dunia I dan bekerja di Rumah Sakit palang merah. Rumah Sakit ini terletak di Ludwigsburg, dimana ia bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya, Magdalene, yang kala itu bekerja sebagai perawat. Mereka kemudian menikah dan memiliki 6 anak: Inge, Hans, Elisabeth, Sophie, Werner and Thilde; sayang, Thilde meninggal pada tahun 1926.



Sophie sendiri ketika memasuki universitas, menjadi anggota Mawar Putih yang dibentuk di bawah pemerintahan Nazi selama Perang Dunia II. Sophie dan beberapa temannya di Mawar Putih, anti Nazi sekaligus anti Hitler. Keterlibatannya dalam pengorganisiran perlawanan melawan Nazi setelah pembantaian massal terhadap rakyat Yahudi dan setelah ia membaca sebuah tulisan anti Nazi karya Clemens August Graf von Galen, seorang uskup gereja Roman Katolik Munster. Ia tergerak oleh teologi kesadaran dan mendeklarasikan bahwa “Seseorang, sesungguhnya harus memulai. Apa yang kami tuliskan dan katakan juga diyakini oleh banyak orang, hanya saja mereka tak berani mengungkapkannya seperti kami.”

Latar belakang keyakinan Sophie dan saudara saudaranya yang anti Hitler tak lepas dari pengaruh nilai –nilai yang ditekankan keluarganya yang menganut Lutheran. Ibunya adalah pengkhotbah Luteran dan ia mengajarkan pada anak-anaknya untuk memiliki “moral yang kuat dan kesadaran sosial”

Selama duduk di bangku sekolah, Sophie dikenal sebagai anak yang cerdas. Ia menggemari beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Musik dan Olah raga. Ia sangat suka membaca dan di masa awal remajanya, ia mulai tidak menyukai ketidakadilan.

Didikan keluarga memang memberi pengaruh besar bagi Sophie dan saudara-saudaranya dalam menentukan sikap politik hingga tumbuh menjadi keberanian lebih melawan Nazi. Ayahnya sendiri adalah seorang politikus yang berhasil terpilih jadi Walikota Ludwigsburg. Bagaimana kelanjutkan kisahnya? Jangan dulu beranjak dari Marsinah 106 FM, kita dengarkan sejenak tembang cantik berikut ini (lagu dan iklan)


 Pada tahun 1930, Robert memenangkan pemilihan Walikota dan keluarganya pun pindah dari Forchtenberg ke Ludwigsburg. Pada tahun 1932, sekeluarga kemudian pindah ke kota Ulm yang tak memiliki reputasi sebagai pendukung Nazi dan ketika Hitler terpilih sebagai konselir pada 30 Januari 1933, tak ada satupun pesta perayaan kemenangan di kota ini – tak seperti kota-kota lainnya di Jerman. Partai Nazi akhirnya mengetahui hal ini dan lawan-lawan politiknya ditahan di kasti kota. 

Dengan pindah ke kota Ulm, Sophie pun bersekolah di Ulm, di sebuah sekolah negeri khusus putri. Sophie merasakan perubahan besar di sekolah-sekolah di Jerman, dimana semua buku dipindahkan dan digantikan dengan buku yang dibolehkan oleh Nazi. Para guru harus menjadi bagian dari Liga Guru Nasionalis Sosialis dan kurikulumnya pun diubah sesuai kemauan Nazi. Kebugaran fisik, olah raga dan aktivitas di luar ruang kelas menjadi bagian utama pendidikan.

Penentangan Robert Scholl secara terbuka melawan Hitler disampaikan kepada anak-anaknya namun mereka diminta untuk tidak menyampaikan sikap tersebut ke guru-gurunya. Bahkan sang ayah dan anak-anaknya pun sering terlibat pendiskusian tentang gerakan kaum muda Hitler. Suatu kali saat masih remaja, Sophie dan saudaranya hendak bergabung tapi dilarang oleh sang ayah. Namun karena ingin bergabung Sophie dan saudara-saudaranya nekat bergabung meski tanpa restu ayah. Sophie bergabung di Liga Kaum Muda Perempuan dan kemudian saat ia berusia 14 tahun ia bergabung ke Liga Kaum Muda Perempuan Jerman. Pada tahun 1935, ia dipromosikan masuk ke skuad pimpinan. Suatu kali, Sophie mengundang teman – teman Yahudinya untuk bermain ke rumahnya setelah ia bergabung ke gerakan Kaum Muda Hitler. Ia juga mengajukan komplain ke Kaum Muda Hitler Ulm saat gerakan tersebut menolak dua teman Yahudinya untuk bergabung.

Perlawanan Sophie muncul ketika ia sudah jadi anggota senior Liga Kaum Muda Perempuan Jerman. Ia mendengarkan pembacaaan buku “Buku Lagu-Lagu” yang ditulis oleh seorang Yahudi yang dibuang Heinrich Heine. Saat ia ditegur, Sophie menjawab bahwa tak seorangpun bisa mengenal literatur Jerman tanpa membaca karya Heine.

Skenario di German mengalami perubahan besar pada bulan September 1935 saat Hukum Nuremberg diperkenalkan. Hukum ini melarang teman-teman Yahudi Sophie untuk pergi ke kolam renang, bioskop, teater dll. Teman-teman Sophie dari Yahudi pun satu per satu mulai meninggalkan sekolah negeri khusus putri dan sekolahnya dipisahkan tesendiri. Peristiwa ini benar-benar bertentangan dengan keyakinan Sophie tentang kesetaraan dan keadilan untuk semua orang dan membuatnya sangat marah.

Kemarahan Sophie adalah hal yang wajar, mungkin banyak orang juga tidak bersepakat dengan kebijakan diskriminatif tersebut. Namun, hanya sedikit yang berani mengatakan kebenaran. Sahabat marsinah, kemarahan pada ketidakadilan adalah suatu keharusan dan menjadi lebih berfaedah bila disalurkan dengan perjuangan. Buat sahabat marsinah, sambil menikmati hidangan atau santapan makan malam, saya akan putarkan sebuah lagu indah untuk sahabat semua. (lagu dan iklan)

Setelah lulus sekolah pada tahun 1940, Sophie bekerja di TK (Taman kanak-kanak). Hal ini karena ia senang bermain dengan anak-anak dan pekerjaan sejenis. Selain itu, dengan bekerja di TK, ia tak perlu bergabung ke Buruh Jasa Nasional yang dipimpin oleh Robert Ley. Sayang, rencananya tidak berhasil, ia tetap harus melakukan kerja layanan jasa selama 6 bulan sebagai guru perawat di bawah naungan Reichsarbeitsdienst. Namun, pekerjaannya di layanan jasa ini membawanya ke universitas dan pada bulan Mei 1942, ia berkuliah di Universitas Munich. Di sini ia mengambil jurusan Filsafat dan Biologi. Sophie bertemu dengan teman-teman saudara lelakinya, Hans – beberapa orang yang mendirikan gerakan Mawar Putih. Kebenciannya pada pemerintahan Nazi membuatnya bergabung dan kebenciannya pun semakin menjadi ketika ayahnya ditahan setelah mengkritisi Hitler di tempat kerjanya.

Kekasih Sophie sendiri, Fritz Hartnagel, yang ikut berperang bersama tentara Nazi semakin meyakinkan Sophie bahwa jalan yang dipilihnya adalah benar. Fritz kerap menyampaikan bahwa tentara Nazi sama sekali tak punya belas kasihan dalam berperang, dengan menembak orang tidak bersenjata dan dalam kondisi kalah.

Sophie turut membagikan selebaran yang dicetak oleh Mawar Putih meski dia bukanlah penulisnya. Selebaran ke enam yang diproduksi berjudul “Untuk pejuang kemerdekaan dalam barisan perlawanan”

Sophie dan Hans mengambil satu bundel selebaran ke Universitas Munich pada 18 Februari 1943 dan membagikannya sebelum perkuliahan dimulai. Sayang, tindakan mereka ketahuan, karena mereka terpaksa meninggalkan sisa selebaran yang tak sempat dibagikan sebelum dering kuliah berbunyi . Hal ini membuat mereka ketahuan dan akhirnya harus dipenjara. Seorang penjaga kampus bernama Jacob Schmid melihat mereka meninggalkan selebaran yang masih sisa tersebut. lelaki inilah yang kemudian memanggil polisi rahasia Gestapo yang kemudian menahan mereka berdua.

Hanya berselang 4 hari, Sophie dibawa ke pengadilan. Hakim memberi tuduhan kepada Sophie sebagai berikut:

“Terdakwa Sophie Scholl, pada awal musim panas 1942 terlibat dalam diskusi politik dimana ia dan saudara lelakinya Hans Scholl menimpulkan bahwa Jerman akan kalah perang. Ia mengakui telah terlibat dalam mempersiapkan dan mendistribusikan selebaran pada 1943. Bersama dengan saudara lelakinya ia membuat draft tulisan yang berjudul “Leaflet perlawanan di Jerman”. Sebagai tambahan, ia juga terlibat dalam memesan kertas, amplop dan stensil dan bersama dengan saudara lelakinya ia mengkopi leaflet tersebut. Ia meletakkan selebaran tersebut di beberapa tempat dan ia juga mendistribusikan selebaran tersebut di Munich. Ia menemani saudaranya ke universitas, menyebarkan selebaran di seluruh penjuru kampus dan ditangkap segera setelah melakukan aksinya”

Sophie kemudian diberikan kopian dari surat tuduhan tersebut, di belakang surat tuduhan itu, ia menulis “Freedom” yang artinya kebebasan.

Keduanya, Hans dan Sophie mengakui perbuatan mereka dan bersedia bertanggung jawab dan meminta Gestapo membebaskan kawan-kawan lainnya namun Gestapo tidak memenuhi permintaan mereka. Gestapo juga dari awal tak percaya kesaksian keduanya bahwa hanya dua orang yang mengerjakan selebaran tersebut.

Sahabat Marsinah, apa yang terbersit dalam pikiran kita, bila mana kematian hanya sejengkal saja.
Ketika rasa takut terasa begitu dekat hingga tubuh kita menggigil. Sophie yang demikian muda beserta saudaranya, Hans, merasainya. Dan di saat bersamaan, mana kala ketakutan sedemikian besar, keberanian yang lebih besar mulai muncul. Benar apa yang dibilang Pramudya Ananta Toer dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”, bahwa orang-orang pemberani memenangi seperempat dunia. Ngomong-ngomong, kita nikmati dulu yuuk lagu lagu asik berikut, biar kata berani, kita juga tetap harus hepi (lagu dan iklan)


Selain Sophie dan Hans, salah satu anggota Mawar Putih, Christoph Probst juga dipanggil di persidangan. Ia adalah yang pertama kali dibawa ke pengadilan pada 22 Februari 1943. Pengadilan rakyat didirikan pada 24 April 1934 untuk dakwaan serangan politik melawan Nazi. Pengadilan ini hanyalah pengadilan yang diseting untuk melegalkan hukuman mati bagi lawan politik Nazi. Roland Freisler, adalah hakim yang selalu menjatuhi hukuman mati bagi para penentang Nazi, termasuk Sophie, Hans dan Jacob.

Sebelum kematiannya, Sophie memberi pernyataan “Hari ini hari yang sangat cerah dan aku harus pergi. Tapi berapa banyak orang harus mati dalam peperangan, berapa banyak kaum muda harus mati, kehidupan yang menjanjikan? Apalah arti kematianku jika dengan kematianku ribuan orang diingatkan dan jadi waspada? Ditengah jenazah kaum mahasiswa, di situlah terletak pemberontakan”

Sophie dieksekusi di tahanan Stadelheim Munich, beberapa jam setelah sidang selesai. Ia dipenggal dengan guillotine dan tak ada satupun pemberontakan mahasiswa terjadi hari itu.

Namun, nama Sophie selalu dikenang sebagai gadis pemberani, pada tahun 1999, ia dijuluki “Perempuan abad ini” oleh majalah “Brigette” dan pada tahun 2003 ia dan Hans menempati poling nomor 4 dalam daftar “Orang Jerman Terhebat”

Sahabat marsinah, kebenaran harus disuarakan dan karena konsekuensinya terhitung berat, hanya sedikit orang yang memulai. Tapi menjadi pemula adalah kebutuhan sekaligus kepentingan. Tanpa para pemula yang memulai bersuara, merintis perlawanan, maka kebenaran tidak akan tegak. Sophie dan saudaranya adalah sedikit saja contoh. Coba tengok diri kita, tatap sosok kita di cermin, sebelum memunculkan keberanian, mari dalami relung jiwa kita dan temukanlah keberanian itu bersemayam. Suatu saat, ia akan meledak seiring dengan amarah kita pada ketidakadilan dan ketika yang lain sudah mulai merintis. Akhir kata, sahabat marsinah, saya Lamoy beserta kerabat marsinah fm, harus undur diri, sampai jumpa. Jangan lupa, dengarkan terus marsinah fm dan dukunglah agar terus mengudara. Salam setara.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar