Blue Fire Pointer

Kamis, 27 Februari 2014

Emiria Sunassa; Pelopor Senirupa Indonesia Modern.







Sahabat marsinah, seni adalah ekspresi dari pemikiran manusia dan memuat pesan bagi khalayak. Melukis adalah bahasa warna antar sesama manusia. Dalam sejarah perkembangan seni lukis, jarang terdengar di telinga kita, dalam literatur sejarah, dalam pelajaran di sekolah-sekolah soal sosok perempuan pelukis Indonesia yang berperan mengembangkan seni lukis itu sendiri. Dalam perempuan pelita episode 20 Februari 2014 ini, redaksi perempuan pelita mengangkat salah seorang perempuan pelukis Indonesia yang adalah pelopor seni lukis modern Indonesia. Saya, Dias, seperti biasa siap menemani sahabat marsinah selama 1 jam ke depan, di marsinah 106 fm, radio buruh perempuan untuk kesejahteraan dan kesetaraan (iklan dan lagu)

Perempuan pelukis pertama di Indonesia yang paling aktif menyelenggarakan pameran ini lahir di Tanawangko (Kampung Tidore), Sulawesi Utara tahun 1894. Pameran pertamanya ia gelar pada tahun 1940 bersama Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di Toko Buku Kolf. Salah satu lukisan yang dipamerkan di masa itu adalah “Telaga Warna”. Setahun kemudian, ia terlibat dalam pameran perintis pelukis pribumi di Batavia Kuntskring. Dalam pameran ini, beberapa lukisannya dipajang Pekuburan Dayak Pnihing, Orang-orang Papua, dan Kampung di Teluk Rumbolt. Suatu kali, lukisannya, Pasar dan Angklung dihadiahi oleh pemerintah Jepang di masa pendudukan jepang. Hadiah itu berjuluk “Saiko Sjikikan”. Desember 1943, Emiria menggelar pameran tunggal di Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Ia terus aktif di dunia seni Jakarta hingga memasuki masa kemerdekaan.


Sebenarnya, Emiria baru serius melukis kala usianya menginjak di atas 40 tahun. Kegemarannya melukis sudah dimulai semenjak kanak-kanak. Sayang, sang ayah berkeberatan anak perempuannya menggeluti dunia lukis. Terpaksa, sewaktu muda, ia tinggal nomaden atau berpindah-pindah dan tak pernah tinggal lama di satu tempat. Saat usianya 18 tahun, ia mengikuti pendidikan sebagai perawat di Rumah Sakit Cikini – Jakarta, dua tahun kemudian ia terbang ke Eropa untuk menikah dengan seorang Diplomat asing yang ia kenal di Jakarta. Selain gemar melukis, Emiria juga gemar bepergian, terutama di daerah terpencil. Bahkan, ia tinggal bersama penduduk setempat seperti orang Papua, Dayak dan Kubu. Kekaguman Emiria dengan penduduk ini adalah karena kejujurannya, tak mudah terpengaruh dengan dunia modern. Dari mereka, Emiria belajar banyak hal, termasuk berbagai jenis racun dan bagaimana berburu gajah.

Dalam melukis, Emiria tak begitu memperhatikan tekhnik melukis, diabaikannya aturan tentang perspektif, dan cara menggunakan warna secara ekspresif. Ia lebih memilih menggunakan warna coklat gelap, merah gelap dan hitam yan diimbangi dengan warna hijau, kunin menyala seperti yang kelihatan dalam lukisannya “Orang Irian” dan “Burung Cendrawasih”

Hari itu, satu hari di tahun 1960, Emiria memutuskan pergi dari Jakarta, kota tempat ia menuangkan karya lukisan selama lebih dari 20 tahun. Beberapa bulan sebelum ia pergi, ia menggelar pameran bersama rekan-rekannya, Trisno Sumardjo, Oerman Effendi, dan Zaini di Taman Seni Rupa Merdeka, Kebayoran. Entah mengapa ia memutuskan pergi dari Jakarta. Yang mengejutkan, keputusan meninggalkan Jakarta sekaligus merupakan keputusannya mengakhiri karirnya sebagai pelukis. Sekitar 30 lukisannya beserta kuda-kuda melukis dan cat ia tinggalkan begitu saja di rumahnya yang juga berfungsi sebagai studio lukis, di Jl. Cendana, Menteng, Jakarta. Kepergiannya sekaligus menjadi pembenar bagi siapa saja untuk melupakannya sebagai salah satu pelukis perempuan Indonesia. Ada yang berujar, Emiria kurang dikenal karena tak begitu dekat dengan Sukarno, orang nomor satu di Indonesia waktu itu. Ada lagi yang berpendapat, ia kurang dikenal karena tak mau mengikuti arus atau mainstream seni lukis di masanya. Sebagian lainnya beranggapan, Emiria bukan pelukis yang berhasil dan hanya layak disebut sebagai pelukis hobi. Jadi, tak heran bila hanya sedikit yang bicara tentangnya, pun informasi tentangnya nyaris tidak ada.

Masih di Rubrik Perempuan Pelita, bersama Dias dan Emiria Sunassa. Kepergian Emiria penuh misteri. Tak ada yang tahu kenapa dan kemana ia pergi. Namun, masih banyak yang bisa kita kenal dari nya. Sebelum kita berkenalan lebih jauh, yuk kita dengarkan lagu manis yang satu ini (Lagu dan iklan)


Emiria Sunassa, salah satu pelukis perempuan yang melangkah lebih maju dalam hal genderi di dunia seni rupa. Sudjono pernah menyebutnya sebagai sosok jenius. Salah satu lukisannya, menjadi pengisi di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta. “Pengantin Dayak” demikian ia memberi judul lukisannya itu, sebuah lukisan dengan warna merah jambu dan coklat tua yang dominan.

Emiria memang gemar melukis sedari kecil, namun tak pernah ia bermimpi menjadi pelukis, apalagi ayahanda tak memberinya dukungan untuk mengasah bakat melukisnya itu. Sebagai putri Sultan Tidore, Emiria hidup tanpa kekurangan sedikitpun. Meski ayahandanya seorang raja modern, namun Emiria tak dibolehkan belajar lebih dari kelas 3, Europese Lagere School. Ini yang membuatnya terobsesi pada kegemarannya bepergian mengunjungi berbagai tempat jauh dan mempelajari semuanya.

Pertemuannya dengan diplomat asing yang kemudian menjadi suaminya bermula dari aktivitasnya di sekolah perawat. Lelaki itu ia rawat hingga sembuh dan tak dinyana justru melamarnya. Emiria terpesona dan menerima lamaran itu, yang kemudian membawanya terbang ke Eropa untuk menikah.

Di Eropa, Emiria mempelajari tari balet dari seorang perempuan bernama Miss Duncan dari Dalcroze School di Brussel dan dari Green di Amsterda. Ketekunannya belajar tari balet membawanya pada sebuah pementasan balet sebagai puteri Timur. Dalam tari balet itu ia tampil sebagai “Sun”. Tubuhnya berkilauan bagai matahari. Sejak itulah ia dikenal dengan panggilan “Sunny”.

Namun, mahligai perkawinannya runtuh. Mereka berpisah dan Emiria kembali lagi ke tanah kelahirannya, Indonesia. Hobinya bepergian tetap berjalan, berbagai tempat ia kunjungi. Dari Halmahera, Papua, Dayak dan lain-lain. Biaya perjalanan ia cari sendiri dan perjalanannya ini yang kemudian ia curahkan dalam berbagai karya lukisannya.

Suatu kali, ia berjumpa dengan Dr Pijper, seorang penyuka seni. Kepada Emiria Pijper pernah meminta supaya Emiria memberi masukan pada reproduksi lukisan yang ia dapat di Belanda. Dr Pijper terkesan dengan masukan Emiria. Dr. Pijper tak percaya bila Emiria bisa melukis, karenanya ia minta Emiria melukis. Satu saja, untuk hadiah ulang tahunnya. Emiria tertantang tapi lukisannya tak kunjung jadi. Berkali-kali Pijper menagih lukisannya, hingga mengajaknya ke Telaga Warna di Puncak, Bogor. Namun, Emiria banyak alasan, sampai akhirnya Pijper membuatkannya sketsa telaga untuknya. Baru kemudian Emiria mulai melukis.

Dari situlah, Emiria mulai banyak melukis dan ikut pameran lukisan. Ia sempat mejadi anggota Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan oleh Sudjojono dan Agus Djaja pada 23 Oktober 1938.

Di masa Jepang, Emiria menjadi satu-satunya perempuan yang ikut pameran dan namanya tercatat dalam buku “Orang Indonesia Terkemuka di Djawa” yang diterbitkan Goenseikanbu pada tahun 1944.

Kegemarannya berpergian di daerah terpencil diabadikannya dalam wujud lukisan. Tak heran, obyek lukisannya diantaranya patung masayrakat suku Indonesia. Seorang kritiskus seni Sanento Yuliman mengungkapkan, karya Emiria merupakan salah satu ciri karya seni lukis yang menampilkan keindonesiaan melalui penggambaran artefak masyarakat suku di Indonesia.

Kritikus seni lainnya, Soh Lian Tjie menuturkan lukisan Emiria adalah cerminan dari jiwanya yang bebas keras tak peduli aturan atau pakem. Dalam hal feminisme di dunia seni, Emiria adalah pelopornya. Ia menghasilkan karya feminis seperti lukisannya yang berjudul “Mutiara Bermain”. Lukisan ini ia buat selama 4 tahun semenjak tahun 1942. “Mutiara Bermain” mengambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Gambar ini melukiskan ketertindasan perempuan masa itu, apalagi di masa penjajahan Jepang yang menjadikan perempuan sebagai pelampiasan nafsu. Karya lainnya yang bertemakan feminisme adalah “Kembang Kemboja di Bali” (1958), “Wanita Sulawesi” (1958), “Market” (1952), dan “Panen Padi” (1942).

Tentang kepergiannya yang penuh misteri, sebuah arsip memaparkan pada tahun 1960, Emiria sempat mengajukan visa ke Nederlands Nieuw Guinea, sebuah nama untuk Papua Barat saat itu. Tak ada yang tahu untuk tujuan apa ia mengajukan visa tersebut. Ia masih menjadi tanda tanya, dan bersyukurlah serpihan kisah tentangnya masih ada untuk anak cucu kita.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar