Perempuan Pelita
Edisi 6 Februari 2014
Alam adalah ibu bagi semua manusia, tiada mahkluk yang bisa hidup tanpa alam. Seringkali manusia lupa pada sabda alam, sehingga seringkali mengabaikannya. Tak heran bila banjir kerap melanda negeri kita, Jakarta, sebagai ibu kota pun tak luput dari bencana alam ini. Namun diantara manusia-manusia lupa ini, ada segelintir orang yang peduli dan membelanya mati-matian. Mereka adalah para perempuan tangguh yang gigih membela alam sebagai tempat tinggalnya,nafas seluruh manusia. Siapa saja mereka? Perempuan Pelita, rubrik kesayangan anda yang hadir tiap kamis jam 7 sampai 8 malam siap menemani anda tentu saja di marsinah 106 FM, saya, Dias, akan bersama anda selama 1 jam ke depan. Sebelumnya, ikuti tembang kesayangan anda berikut ini (Lagu dan iklan)
Namanya
Rini Murtini, berkat kecintaannya terhadap alam lingkungan, ia diberi gelar
pahlawan lingkungan hidup Bandar Lampung pada tahun 2012. Di usianya yang 50
tahun, Rini masih giat menata tanaman di halaman rumahnya. Kepada salah satu
media, ia menuturkan bahwa kegiatannya menata tanaman di halaman rumahnya
adalah salah satu bagian dari programnya, yaitu kampung hijau.
Kampung
hijau, menurut Murtini merupakan upaya pelestarian lingkungan yang mengajak
masyarakat setempat untuk menjaga lingkungan. Dengan program ini, Murtini
berharap masyarakat kan ingat supaya pandai mengelola sumber daya alam
berdasarkan prinsip keharmonisan alam sekitar. ’’Singkatnya adalah upaya kita memperhatikan aspek lingkungan hidup agar
tidak berbalik menjadi musuh bagi kita,”
Kepada masyarakat sekitar,
Murtini menegaskan, menjaga kelestarian lingkungan tak perlu mengeluarkan
banyak dana. Hal ini agar masyarakat tak perlu risau dengan dana yang hendak
dikeluarkan, termasuk dalam memproduksi pupuk organik. Sampahh organik, kata
Murtini bisa dikelola menjadi kompos.
’’Pupuk ini kita
pergunakan untuk memberi nutrisi tanaman kami. Dengan begitu, warga tidak perlu
mengeluarkan sejumlah uang untuk memelihara tanamannya.” Saat ini,
sistem pembuangan sampah pun sudah diatur, sampah organik, non organik dan
sampah berupa pecahan kaca atau beling sudah dipisah pembuangannya
Dampak positif bagi kampung
adalah kampungnya kini berkembang menjadi kampung yang hijau sehingga membuat
banyak orang tertarik untuk berkunjung, dari mahasiswa hingga wisatawan lokal.
Tidak mudah
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk peduli pada lingkungan. Murtini
merintisnya dengan suka dan duka. Namun, sebelum kita melanjutkan kisah Murtini,
kita nikmati dulu satu lagu cantik yang satu ini (lagu dan iklan)
Merintis kampung hijau bukan
hal mudah, dan kerap kali hujatan harus diterimanya. Niat baik, tak selamanya
mengundang tanggapan yang baik pula. Namun, itu adalah hal biasa bagi Murtini. Bukan
hanya hujatan yang ia terima, beberapa pot tanaman atau kotak sampah sering
hilang entah oleh siapa. ’’Tetapi itu dulu, syukur sekarang
warga di sini sudah menyadari tujuan saya membangun kampung hijau,”
Berkat kerja kerasnya, kini
kampung hijau sudah mulai terwujud, dan sekarang pun sedang bekerja keras
membangun Bank Sampah, sebuah program yang memiliki nilai ekologis, sekaligus
nilai ekonomis karena bisa menghasilkan profit bagi yang cinta lingkungan.
Filosofi dari program ini adalah sampah sebenarnya memiliki nilai ekonomis yang
sayang sekali bila musnah. Sebab, limbah bisa diolah menjadi energi baru dalam
beragam bentuk, misalkan kertas daur ulang dan pupuk kompos. ’’Perlu disadari, orang akan terpacu mengumpulkan
sampah bila ada insentif ekonominya. Karenanya, perwujudan bank sampah ini
menjadi misi saya dalam waktu dekat ini,” (lagu dan iklan)
Nah, sekarang kita berkenalan
dengan perempuan pejuang lingkungan lainnya. Ada Mak Eroh di sana, seorang
perempuan paruh baya yang lincah dan gesit.
Alam, adalah nafas hidup
manusia, ia adalah sumber kesejahteraan manusia, tanpa sumber daya alam,
manusia tak bisa hidup. Mak Eroh tahu benar tentang hal itu, perempuan paruh
baya dari Cisayong, Desa Pasir Kadu ini harus bekerja keras hanya demi memperoleh
satu ember air bersih. Kekeringan membuat Desa Pasir Kadu jauh dari sejahtera,
sawah-sawah kering dan bila mereka tak bercocok tanam, kemiskinan pun melanda.
Berangkat dari situasi sulit
inilah, Mak Eroh membuat saluran air sepanjang 50 meter yang bisa menghubungkan
desa Pasir Kadu dengan Sungai Cilutung. Kerja kerasnya dimulai Juni 1945, namun
justru menjadi bahan tertawaan oleh warga di desanya. Bukan Mak Eroh kalau
menyerah, bermodalkan 20 buah pahat, 20 martil, 20 linggis, 20 belincong,
ditambah cangkul yang ia beli dari berjual perhiasan miliknya, Mak Eroh memulai
misinya.
Dengan peralatan sederhana
itu, Mak Eroh menggantungkan badannya di seutas tali rotan, lalu dengan
gesitnya ia memapras bukit cadas. Berhasil. Tahap pertama berhasil ia lalui.
Tapi proyek belum selesai. Ia kemudian membuat saluran sepanjang 50 meter yang
menghabiskan waktu 45 hari non stop. Kepada Ketua RT setempat, dengan bangga
Mak Eroh menceritakan hasil kerjanya. Hampir seluruh warga tidak percaya dengan
apa yang diperbuat perempuan paruh baya tamatan kelas 3 SD ini. Mana mungkin
dalam waktu 45 hari bisa mengerjakan itu semua? Ungkap para warga. BISA, kata
Mak Eroh. Ia pun berkisah pada warga bagaimana ia melaksanakan pekerjaannya
itu. Setelah ia berkisah, 8 pemuda akhirnya tergerak hatinya untuk membantu
namun baru 8 hari, 8 pemuda sudah menyerah.
Lalu, bagaimana kelanjutan perjuangan Mak Eroh?
Apakah ia berhasil? Sedangkan 8 pemuda pun sudah berhenti. Kelanjutannya kita
nikmati setelah lagu persembaha marsinah 106 fm.
Gerak perubahan, memang selalu
berangkat dari mimpi dan cita. Tak puas dengan membangun saluran air 50 meter,
Mak Eroh melanjutkan misi yang lebih besar lagi. Ia membuat saluran lanjutan
sepanjang 4500 meter yang mengitari 8 bukit dengan kemiringan 60 sampai 90 derajat.
Proyek raksasa ini bisa ia kerjakan dengan bantuan para pemuda di desanya.
Waktu yang dibutuhkan adalah 2,5 tahun. Luar biasa.
Kerja keras jelas membuahkan
hasil. Mereka berhasil membuat saluran selebar 1 meter dengan kedalaman 0,25
meter yang menghubungkan sungai Cilutung dan Desa Pasir Kadu. Hasil kerja keras
ini tidak hanya dinikmati Desa Pasir Kadu. Warga bersepakat membagi hasil tetes
keringatnya ke dua desa tetangga.
Alhasil, dua desa tetangga pun tidak mengalami kekeringan lagi. Dari
hasil kerja keras tersebut, sawah Mak Eroh seluas 60 hektr bisa dialiri air
dari Sungai Cilutung.
Berkat usahanya, Mak Eroh
menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 1988 dan di tahun berikutnya, PBB
memberikan penghargaan lingkungan padanya.
Mak Eroh membuktikan, usia
bukan hambatan untuk berjuang dan belajar bagaimana memanfaatkan lingkungan
alam untuk kesejahteraan. (lagu dan iklan)
Adalah
Dusun Bawalatang, Desa Nawakote, Kecamatan Walanggitan, Kabupaten Flores Timur,
tempat Theresia Mia Tobi melakukan budidaya gaharu. Lahan di dusun itu
bergelombang, berbukit dan terjal sehingga sangat tidak ramah pada warga
sekitar. Akibatnya, kemiskinan merajalela. Theresia Mia Tobi, seorang ibu rumah
tangga memiliki perhatian sangat besar dan bersedia meluangkan waktunya untuk
membudidayakan gaharu. Hingga tiba waktunya bagi Theresia untuk memulai
usahanya. Waktu itu, pada tahun 1993, ia mulai pembibitan dan penangkaran,
penanaman dan perawatan. Theresia dengan tulus bekerja keras agar masyarakat
lepas dari jerat kemiskinan.
Dengan
dukungan dari keluarga, oran tua serta anggota kelompok tani, Theresia tanpa
kenal menyerah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan
penanaman pohon. Semboyannya kala itu “Bila satu pohon ditebang, akan diganti
dengan penanaman seribu pohon”. Warga pun kemudian melakukan hal yang sama,
yakni pembibitan, penangkaran dan penanaman gaharu di pekarangan rumah maupun
di areal hutan.
Karena
mendatangkan nilai ekonomis yang banyak, Theresia Mia Tobi kemudian membagikan
sekitar 11 ribu bibit gaharu kepada masyarakat Desa Nawakota, Yayasan Tana
Abab, Kelompok Tani Watebula Sumba Barat, Yayasan Yaspensel Diosis Larantuka,
Kelompok Tani Taw Tana, Uskup Weetebula Sumba Barat, Yayasan Yaspensel Diosis Larantuka, Kelompok Tani
Taw Tana, Uskup Weetebula, Mantan Bupati Flores Timur, Drs. Hendrikus Henkin,
dan Kelompok Tani Gaharu di Kemaebang Desa Nawakota.
Meski
memiliki keterbatasan dana dan lain-lain, Theresia mulai menanam berbagai
tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, ampupu, gamalina, selain tanaman perkebunan
seperti ciklat, vanili, kemiri, kelapa, pisang, dll. Penanaman berbagai
komoditas ini mencakup 3 hektar di areal sekitar pemukiman dan penghijauan
telah menjadikan desa ini asri serta sejuk padahal sebelumnya sangat gersang.
Kerja
keras serta kegigihannya berhembus dari mulut ke mulut dan membuat Theresia Mia
Tobi terkenal. Berbagai undangan untuk menjadi pembicara satu persatu
berdatangan. Tidak hanya di tingkat desa namun juga tingkat kecamatan hingga
kabupaten Flores.
Rini Murtini, Mak Eroh, Theresia Mia Tobi,
hanyalah sedikit dari sekian banyak perempuan yang mau meluangkan waktunya bagi
kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka adalah gambaran
kaum perempuan yang gigih berjuang bukan hanya untuk perutnya sendiri namun
untuk perut bumi, permukaan bumi dan keseluruhan bumi beserta mahkluk hidup
yang tinggal di dalamnya. Mereka adalah keindahan yang membuat hidup menjadi
berarti dan kita pun semoga tidak berputus asa berbuat baik bagi lingkungan dan
masyarakat.
Demikian, perempuan
pelita menemani sahabat marsinah selama 1 jam ini, kita akan bersua lagi minggu
depan di jam yang sama. Tentu saja masih di marsinah 106 fm, radio buruh
perempuan untuk kesejahteraan dan kesetaraan. Salam setara, sampai jumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar