Blue Fire Pointer

Jumat, 21 Maret 2014

Being Marsinah




Judul tulisan ini terinspirasi film “Being John Malkovitch.” Kayaknya dia aktor papan atas negeri manca ya? Kenapa juga saya tidak menuliskan tentang being Marsinah? Wanita yang sangat inspirasional bagi kaum buruh? Ketika tragedi Marsinah terjadi saya masih mahasiswi. Okay, mahasiswi manja yang dicukupi ibunya. Menghabiskan waktu dengan hura – hura, sekolah semampunya dan travelling melulu bersama teman – teman. Motto saya adalah happily everafter, jadi yang susah – susah bin sedih, saya tidak mau dengar! Ketika mendengar kisah Marsinah. Saya bertanya dalam hati, “Siapa wanita itu?” Ketika tahu siapa beliau, saya berkomentar lagi, “Waduh pemberani sekali,.. lelaki saja belum tentu nekad bersuara vokal seperti itu!?”

Bertahun kemudian, saya bekerja. Okay, saya bukan buruh. Saya karyawati yang sangat dimanja (lagi – lagi beruntung ya?). Dapat antar jemput kantor, boss – boss cinta, teman – teman baik dan everything is good. Saya cuma tidak puas dengan satu hal : meteran kinerja. Bekerja yang tanpa jenjang karir, tanpa track record, tanpa history apa artinya? Robotkah kita? Lalu motivasi untuk terus maju dan berkembang akan hilang. Manusia dibenamkan dalam utopia semu, semua serba ‘fasilitas kantor’, lha kalau sudah tidak bekerja di kantor, terus bagaimana?? Semua karyawan kemudian disamakan, apa bedanya dengan buruh?? Sama – semua bekerja melinting rokok, satu orang keluar , sepuluh orang akan melamar pekerjaan walau sekedar untuk melinting rokok. Saya percaya reward and punishment sedikit banyak membantu perkembangan moral dan karakter individu. Hal semacam ini akan memicu naluri belajar dan memajukan diri. Kalau serba enak, lalu kita jadi bosan, malah berpikir bahwa ini sudah segalanya, sangat sempurna! Ini sudah semuanya yang dianugrahkan oleh Tuhan, mau apa lagi? Kerja standar aja ngga usah yang terbaik, yang penting tanggal gajian dapat duit! Artinya? Tinggal menunggu maut menjemput gitu??

Sahabat saya tadi bercerita bahwa dalam sebuah rapat akbar serikat pekerja, management memberikan kabar sinterklas bahwa mereka akan menaikkan gaji sekian persen. Tentu disambut gembira oleh semua orang. Tetapi teman saya dengan super pede mengangkat tangan, “…Maaf Pak!…Bapak menaikkan gaji kami setelah sekian tahun dengan angka yang sama persis dengan gaji yang disebutkan oleh Pak Ahok, wakil gubernur kami. Angka itu adalah angka gaji bagi tukang parkir, yang notabene nggak pakai keahlian komputer dan bahasa asing. Sama persis lho Pak, … gajinya dengan kami!” Semua langsung terdiam. Teman saya sendiri, bukan bermaksud tidak bersyukur. Tetapi ia hanya menggaris – bawahi hak karyawan yang seharusnya sudah sejak lama diberikan. Diberikan sangat terlambat (mengikut UMR) dan itupun dengan rasa bangga seolah management sudah demikian berbaik – hati baik dan menolong.

Pada cerita tersebut saya tertegun dan langsung teringat pada Marsinah. Kami ini karyawan manja, yang bekerja di perusahaan multinasional. Sedangkan Marsinah buruh sederhana bekerja jauh dari ibukota dan yang diminta hanya kenaikan upah yang sangat kecil dibanding ‘anugrah – anugrah’ karyawan perusahaan multinasional. Tetapi masih saja kami tak sanggup ‘being Marsinah.’ Dalam banyak hal, kami segan kepada management. Dalam banyak hal, gaji dinaikkan kalau masih saja protes, nanti dibilang tidak bersyukur. Dalam banyak hal disindir kalau tidak puas silahkan resign, berani tidak? Dalam banyak hal ditakut – takuti, diluar kamu akan kesusahan cari makan dan sebagainya – dan sebagainya. Lalu semua karyawan diam, menurut dan tinggal dalam dunia utopia yang serba serasi dan bersyukur. Tanpa adanya track record, naik pangkat akan menjadi ‘keberuntungan’ semata, siapa pandai pedekate dia itu yang jadi calonnya. Semua orang dikasih makan ikan, supaya menurut dan mudah diatur.

Pada kenyataan – kenyataan tersebut, saya lalu angkat topi teringat Marsinah. Seorang buruh desa yang kepengen sekali kuliah IKIP namun tidak ada biaya. Seorang wanita muda yang rajin belajar, melewati generasi dan kaum penduduk didesanya. Rajin membaca dan mendengar siaran radio serta televisi. Otaknya sebagai buruh tajam mumpuni dan melebihi yang lain. Dengan tidak mengesampingkan perjuangan Marsinah, saya teringat kata – kata, “Kadang yang tidak kamu ketahui tidak akan membunuhmu, tetapi semakin banyak yang kamu ketahui bisa jadi kamu akan terbunuh.” Dan demikianlah terjadi pada Marsinah, pengetahuannya yang luas terutama akan hak – haknya sebagai buruh membuat ia sangat berani dalam memperjuangkan. Kemudian terjadilah hal yang kita kenang sebagai tragedi Marsinah. Being Marsinah ternyata luar biasa pengorbanannya! Saya pernah mencoba ketika komplain kepada boss dan bertanya, “Kamu ingin mengirim saya ke penjara?” Dan ia hanya pucat pasi dan langsung menjawab, “Tentu tidak,..” Tetapi saya masih jauh dari ‘being Marsinah,’ saya hanyalah individu yang manja dan cemen yang menjadi pengagum Marsinah. Hicks,…!

.



diambil dari: http://ketikketik.com/pendidikan/sejarah/2014/03/21/being-marsinah.html#ixzz2wf30YQ7S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar