Simone De Beauvoir; Perempuan Filsuf Revolusioner
Selamat malam sahabat marsinah, jumpa lagi bersama saya, Memey di rubrik Perempuan Pelita, sebuah rubrik kesayangan kita yang hadir setiap hari Kamis jam 7 sampai 8 malam di marsinah 106 FM, radio buruh perempuan dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.
Malam ini kita akan bersua dengan sosok aktivis perempuan dari negeri Menara Eifel, perempuan luar biasa yang tak kenal lelah memperjuangkan hak perempuan. Sosoknya akan kita simak setelah lagu cantik berikut menyapa anda.
Sosok perempuan itu bernama Simone Beauvoir, dari sebuah kota di Paris ia terlahir. Tepatnya pada tahun 1908, dari sebuah keluarga menengah atas. Ia adalah anak tertua dari dua bersaudara. Adik perempuannya bernama Poupette. Tumbuh besar di kalangan keluarga terdidik, Simone banyak mendapat inspirasi dan pengetahuan moral dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah sosok yang sangat menggemari teater tapi tertekan dengan situasi sosial yang melingkupinya dan menjadi seorang pengacara, dan ibunya adalah seorang khatolik yang fanatik. Simone mengenyam pendidikan di institusi pendidikan privat dan di bawah didikan ibunya. Ia mulai serius menempuh pendidikan, dan penulisan. Saat menginjak usia 21 tahun ia mulai tinggal bersama neneknya, dan mulai belajar filsafat di Sorbonne.
Pada tahun 1929, Simone menyelesaikan sekolahnya di jurusan Filsafat dengan tesis tentang Leibniz. Pada tahun yang sama ia bertemu dengan sekelompok siswa termasuk Paul Nizan, Andre Hermaid, dan Jean Paul Sartre. Kemudian Sartre dan Simone mulai merajut asmara sekaligus sahabat intelektual yang setara. Pasangan ini bahkan secara bersamaan menjadi dua mahasiswa top di kelas mereka. Pengaruh kedua filsuf ini di setiap karyanya sangat luar biasa.
Pada tahun tahun antara 1931 dan 1941, Simone melanjutkan hidupnya tinggal bersama neneknya sambil mengajar di sekolah di Marseille, Rouen dan Paris. Ia menjadi Profesor di Universitas Sorbonne dari tahun 1941 sampai 1943. Karyanya membuat Simone independen secara finansial. Ia mengumpulkan beberapa teman di sekitarnya dan menghabiskan banyak waktu di cafe Paris untuk menulis dan berdiskusi. Ia melanjutkan studinya tentang filsafat Jerman di Berlin untuk sementara waktu, dan menghabiskan sisa waktunya bersama Sartre. Pada tahun 1943 Simone menulis karya fiksinya berjudul She Come to Stay (Ia datang untuk tinggal), yang didasarkan pengalaman pribadinya bersama Sartre. Novel tersebut dipengaruhi oleh filosofi Hegel, Heidegger dan Kojeve yang keduanya dipelajarinya bersama Sartre. Karya ini merupakan ujian terjadap problem pilihan dalam sebuah dunia yang absurd dan relasi seorang individu terkait kesadarannya terhadap “liyan”. Karyanya juga dipandang sebagai hasil dari pengaruh eksistensialisme, meski ia terus menerus menolak label eksistensialis akibat kedekatannya dengan Sartre.
Simone de Beauvoir menjadi salah satu
filsuf penting di masanya yang memberi pengaruh pada generasi sepanjang
masa. Karya=karyanya banyak dibaca dan menjadi salah satu subyek mata
kuliah penting. Lalu bagaimana kelanjutan kisahnya? Kita ikuti setelah
satu tembang manis berikut ini.
Semenjak pendudukan Nazi di Prancis, Simone terus melanjutkan
karyanya tanpa beroposisi dengan Jerman. Pada tahun 1943 ia
menyelesaikan 4 buku lebih termasuk Useless Mouth (Mulut yang tidak berguna), All Men are Mortal (Semua manusia adalah fana), Pyrrhus et Cineas, and The Blood of Others. Pyrrhus et Cinéas diterbitan
pada tahun 1944, studi lainnya yang meresahkan bagi Simone, yaitu
tetnang pilihan individu, dan pentingnya kemauan bebas. Pada tahun 1945
ia menerbitkan The Blood of Others (darah yang lain),sebuah novel
yang mengeskplorasi persoalan aktivisme politik dan dilema yang dialami
oleh pimpinan revolusi Prancis selama perang. Ulasan buku ini sangat
berharga dan laris manis terjual pasca perang Prancis,bergulat dengan
isu- isu moral yang ditinggalkan oleh perang. Keberhasilan karya Simone
dan Sartre selama perang dunia ke II, menggiring keduanya menjadi
sejajar dengan camus, Picasso, dan Bataille. Setelah perang dunia II,
Simone dan Sartre mendedit Jurnal kaum kiri berjudul Les Tempes modernes, yang mengambil istilah dari film Charlie Chaplin, berjudul Modern Times (Jaman Modern). Majalah The monthly review meletakkan pasangan ini sebagai sentral komunitas intelektual yang aktif.Kepentingan Simone dalam politik meningkat setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1950an, Simone menjadi sangat kritis terhadap Kapitalisme dan turut berjuang membela pemerintah Komunis China dan Uni Soviet. Pada tahun 1947 ia menghabiskan perjalanan selama 5 bulan di Amerika Serikat, memperkuat keyakinannya. Pada tahun 1948, ia menerbitkan America Day by Day (Amerika dari hari ke hari), sebuah karya kritis terhadap problem sosial, ketidaksetaraan kelas dan rasisme yang ia saksikan selama ia mengunjungi Amerika Serikat. Sementara ia berada di Amerika Serikat, ia bertemu dan jatuh cinta dengan penulis Nelson Algren. Novelnya berjudul The Mandirin yang diterbitkan pada tahun 1954, dihasilkan dari pengalamannya dengan Nelson Algren dan Sartre. Karya ini juga merupakan kronologi gerakan selama pasca Perang Dunia II. Novel ini yang kemudian menerima penghargaan the Prix Goncourt, penghargaan tertinggi di Prancis.
Pada tahun 1947, Simone menerbitkan The Ethics of Ambiguity (ambiguitas etika), karya filosofi paling fanatiknya yang pertama. Ia melakukan perjalanan ke Uni Soviet, Kuba, Jepang, Mesir, Israel, dan Brazil untuk melanjutkan peneilitian politiknya dan pada tahun 1957 ia menerbitkan The Long March. Esai ini mendapat sambutan antusias dari Revolusi China. Ia juga berbicara vokal untuk mendukung perjuangan rakyat Vietnam melawan Prancis.
Ya, Simone tidak hanya mendedikasikan hidupnya untuk menulis dan berkarya namun juga untuk melawan penindasan. Ia menyuarakan
perjuangan rakyat jajahan yang hendak merebut kemerdekaan. Selanjutnya
kita nikmati dulu satu lagu ini untuk kamu semua, bisa sambil ngeteh,
ngopi atau yang lainnya. Yang pasti tetap bersama saya, memey di
Perempuan Pelita, marsinah 106 fm.
Pada tahun 1949, ia menerbitkan karya klasiknya berjudul Second Sex (Jenis Kelamin ke dua). Karya
ini membangun karakter Simone sebagai seorang filsuf, politisi
sekaligus feminis. Karyanya menjadi bagian dalam sejarah penindasan
perempuan, menyatakan perempuan sebagai seorang “liyan” seperti yang
didefinisikan patriarki dan karya ini menjadi bagian dari karya yang
mendorong perempuan menjadi independen. Tidak setiap orang menerima
karya Simone, seorang penulis Khatolik, François Mauriac memimpin
sebuah kampanye melawan The Second Sex, dan melabelinya sebagai
karya pornografi. Seorang kritikus lainnya melabeli Simone sebagai
“nymphomaniac,” sementara yang lainnya menyatakan bahwa karyanya tidak
memihak. Kemudian dalam hidupnya, simone mendedikasikan hidupnya untuk
gerakan feminis dan ia berbicara melawan penindasan kepada ibu yang
tidak menikah dan ibu miskin.Simone kemudian mengabdikan 4 karya tulisannya untuk biografinya. Keempat buku biografinya itu adalah Mémoires Memoirs of a Dutiful Daughter, 1958, The Prime of Life, 1960, Force of Circumstance, 1963 dan All Said and Done, 1972. Beberapa bab dalam buku ini menunjukkan potret kehidupan kaum intelektual Prancis dari tahun 1930an hingga 1970an. Buku oto biografinya yang ke dua The Prime of Life, ia menganalisa relasi antara Aku dan Kami dan menulis tentang otonomi, menjadi sendiri dan juga tentang relasinya dengan Sartre. Gagasannya berganti dari fokusnya tentang kehidupan pribadi ke kehidupan di luar dirinya dan meluas ke topik yang lebih universal di buku otobiografinya yang ke tiga Force of Circumstance (Kekuatan Lingkungan Sekitar). Dalam karyanya ini ia mendikusikan tentang isu di masa itu, termasuk kontroversi dan konlik antara kebebasan manusia dan Perang Prancis/ Algeria. Ia menghabiskan waktu selama 18 tahun untuk menulis buku otobiografinya yang ke tiga dan merupakan buku paling populer dan dramatik.
Kemudian dalam hidupnya, Simone menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri ketika sudah mulali menua, yang mana ia menuliskan dalam karyanya A Very Easy Death (Kematian yang mudah) , 1964, yang mana ia menulis peristiwa kematian ibunya di sebuah Rumah Sakit. Pada tahun 1970, ia menulis Old Age (Usia Tua), yang mengkritik perbedaan masyarakat dengan kaum manula. Pada tahun 1981, ia menulis Adieux: A Farewell to Sartre (Sebuah kata perpisahan: Perpisahan dengan Sartre), yang ditujukan kepada Sartre di masa masa terakhirnya. Simone tinggal di samping Sartre hingga Sartre meninggal pada tahun 1980, dan Simone menghabiskan sisa waktu terkahirnya untuk menuliskan hubungannya dengan Sartre. Buku ini mengisahkan bagaimana hubungan keduanya. Setelah Sartre meninggal, Simone mengalami ketergantungan alkohol dan amphetamine dan kesehatannya pun menurun drastis. Sepanjang hidupnya ia terus mengasah kemampuan intelektualnya dan memenuhi kehidupannya dengan keberanian, integritas pada tulisan-tulisannya. Simone De Beauvoir meninggalkan di Paris pada 14 April 1986 dan dimakamkan di pemakaman yang sama dengan Sartre.
Mengisi hidup dengan karya, keberanian dan integritas adalah hidup Simone dan semoga menginspirasi kita semua untuk juga terus berkarya, berani dan berkomitmen pada apa yang kita yakoni dan perjuangkan. Karya Simone akan selalu hidup dalam ruang dan waktu di sepanjang hidup manusia. Ia memberi manfaat dan kebaikan bagi semua orang yang mau mengabdikan hidupnya untuk bermanfaat bagi sesama. Salam setara, saya Memey dan kerabat marsinah fm undur diri, sampai jumpa lagi pekan depan di hari yang sama, di Perempuan Pelita, marsinah 106 fm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar